Masalah Listrik Perlu Institusi Masyarakat
Dipisahkan antara Operasional Pasar dan Kebijakan Sosial
Oleh: ROBERT BLOHM
Pemadaman listrik
pada 18 Agustus 2005 telah merugikan daya saing ekonomi Indonesia yang
sedang berusaha keluar dari kroni kapitalis yang runtuh pada tahun 1997.
Keruntuhan itu
menjadikan Badan Pinjaman Internasional sebagai usaha terakhir dalam
menanamkan modal asing dan menekan Indonesia memodernisasi ekonominya.
Untuk itu pemerintah perlu mengambil inisiatif agar mengakhiri
pengambilan keputusan secara internal dan lebih melibatkan masyarakat
dalam pembuatan dan pemberlakuan kebijakan serta peraturan melalui
institusi masyarakat yang terbuka dan dapat diandalkan.
Sebagai negara
yang sedang berusaha menstrukturisasi industri listriknya, pada dasar
pasar yang efisien, baik penentang maupun penyokong proses itu setuju
bahwa institusi masyarakat yang andal adalah prasyarat utama—kesimpulan
utama dari laporan Fabby Tumiwa untuk Working Group on Power Sector
Restructuring, ketika pemerintah sedang menyusun ulang Undang-Undang
Kelistrikan tahun 2002 yang telah ditolak Mahkamah Agung. Pemadaman
yang terjadi dua pekan lalu seharusnya mempercepat pembentukan dari
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik itu.
Tarif listrik
Di Indonesia
tarif listrik diberlakukan sama untuk seluruh daerah sehingga tarif itu
tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan suplai, permintaan, dan
biaya operasional untuk memproduksi listrik. Seperti diketahui, biaya
produksi lebih tinggi di wilayah-wilayah pedalaman dan jauh, seperti di
Papua, dan lebih rendah di wilayah yang dekat dengan jaringan
pembangkit listrik utama di Jawa dan Bali.
Tarif yang
berlaku sama itu sebenarnya hanya memindahkan kelebihan uang yang
dibayarkan untuk listrik di Jawa-Bali kepada masyarakat di Papua yang
membayar kurang dari biaya produksi di sana. Hal yang sama berlaku pada
jaringan di Jawa-Bali sendiri, di mana daya listrik mengalir dari timur
yang berlebihan suplai, ke barat (Jakarta) yang tidak mempunyai cukup
suplai untuk memenuhi permintaan.
Daya listrik itu
dialirkan melalui jalur transmisi ekstra tegangan tinggi yang terputus
pada saat pemadaman. Pertama, memutuskan Jawa Timur dari Jawa Barat,
yang menyebabkan pembangkit listrik di Suralaya dimatikan karena
kelebihan beban yang disebabkan banyaknya permintaan.
Kedua, memaksa
pembangkit listrik Paiton di Jawa Timur dimatikan karena memproduksi
terlalu banyak daya berlebih. Hilangnya daya di pembangkit Suralaya
inilah yang menyebabkan sistem Jawa Barat kolaps. Penyelidikan Komisi
VII dan tim investigasi pemadaman listrik hendaknya mencermati mengapa
PLN tak membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum
terjadi pemadaman. Memangkas permintaan listrik dapat melindungi
pembangkit Suralaya dari pemutusan otomatis.
Jika konsumen
membayar dengan harga tinggi di Jawa Barat dan harga rendah di Jawa
Timur, permintaan akan menurun di Jawa Barat dan meningkat di Jawa
Timur sehingga pembangkit listrik tidak perlu dimatikan dan pemadaman
tidak terjadi.
Seorang manajer
yang baik adalah yang mengatakan, ”Biarkan saya memecahkan masalah
dengan sumber daya yang saya punya”, bukan malah berkata, ”Berikan saya
sumber daya untuk memecahkan masalah”. Dengan demikian, pemecahan
masalah yang paling mendasar adalah bukan dengan membangun jalur
transmisi lain di sepanjang selatan Jawa dengan tetap memberlakukan
tarif listrik yang sama sehingga menyebabkan pembangunan yang berlebih
di Jawa Barat atas pengeluaran Jawa Timur. Bahkan jika jalur itu
dibangun, hanya konsumen di Jawa Barat yang harus membayarnya.
Operasional dan kebijakan
Dalam masalah
kelistrikan di Indonesia, perlu dipisahkan antara operasional pasar dan
kebijakan sosial. Interkoneksi Jawa-Bali dapat beroperasi dengan baik
jika didasarkan atas harga pasar yang sesuai dengan biaya dan lokasi.
Pemerintah harus mengenakan pajak pendapatan umum terpisah untuk
mengurangi tarif listrik di wilayah yang masih memerlukan pembangunan
sehingga mendorong industri untuk berpindah ke sana.
Pada saat penanam
modal asing bisa diyakinkan dengan sistem kelistrikan Indonesia yang
dapat beroperasi secara efisien dan merata, tidak tertutup kemungkinan
pembangunan jalur transmisi bawah laut akan dibangun untuk
menghubungkan Sumatera yang kaya batu bara dan gas alam ke Jawa dan
Bali sehingga menambah 2000 megawatt suplai listrik ke Jawa-Bali dari
barat dan secara signifikan mengurangi aliran timur ke barat di Pulau
Jawa dan Bali.
Seperti sambungan
transmisi yang akan dibuat ke Malaysia yang juga merupakan pertanda
baik untuk pembangunan industri di Sumatera, yang akhirnya akan
dilanjutkan dengan pembangunan jaringan transmisi ke Aceh di utara
sehingga bisa terbentuk basis energi pembangkit listrik Asia Tenggara
yang berkesinambungan dan bisa diandalkan serta efisien di Indonesia.
Sebuah pasar
efisien, terbuka, dan wajar, yang dipelihara oleh partisipasi kuat dari
institusi masyarakat, adalah sesuai dengan Res Publica! Sekali lagi res
publica! yang dikemukakan mantan Presiden Soekarno dalam salah satu
manifestonya pada tahun 1959. Artinya, masyarakat yang baik adalah
masyarakat yang mempunyai ”kepentingan” dan makmur, bukan masyarakat
”properti” yang diatur secara ekonomis oleh birokrasi negara yang tidak
efesien.
Robert Blohm Ahli Bidang Pasar dan Pengujian Kelistrikan
|